Terakhir kali saya ke Solo, tahun 2014. Waktu itu, ayah sedang tugas di Solo dan saya harus tes kuliah di Yogyakarta. Karena di Yogyakarta tidak ada sanak famili, jadinya menginap di Solo bersama Ayah. Saya masih ingat, diantar supir dengan mobil Solo-Yogyakarta, sambil mendengarkan album Tulus – Gajah. Diputer terus sampai bosan.
Tidak banyak yang saya lakukan di Solo saat itu, selain menginap untuk tes kuliah dan kemudian pulang ke Surabaya. Itu kali pertama saya naik kereta api dan sendirian, agak kagok karena takut salah kereta.
Waktu berjalan dan tidak terasa, sekarang sudah tahun 2018 dan akhirnya saya kembali ke Solo. Jarak Solo-Yogyakarta tidak jauh, tetapi selama saya kuliah di Yogyakarta, saya tidak pernah pergi ke Solo.
Awalnya saya ingin naik kereta Prameks karena belum pernah, tapi karena beberapa alasan akhirnya berdua bersama teman pergi ke Solo dengan motor.
Perjalanan Yogyakarta – Solo dengan sepeda motor sekitar 1 jam, ini dikurangi waktu singgah untuk sarapan di Klaten. Tidak macet, hanya memang banyak lampu merah. Saya langsung diantar teman saya ke Pasar Gede, di Pasar Gede saya sendirian. Karena baru sampai setelah perjalanan yang cukup jauh, maka saya duduk di pinggir Pasar Gede sambari merapikan bawaan saya.
Saya tidak punya ekspektasi apa-apa terhadap Pasar Gede, saya pikir karena Pasar Gede merupakan salah satu objek wisata, karena banyak yang bilang kalau ke Solo mampir ke Pasar Gede.. ya saya pikir sudah modern. Ternyata, benar-benar Pasar Tradisional.
Tidak tahu apa yang harus saya lakukan sendirian, saya pun memutari Pasar Gede dan mengambil beberapa foto menggunakan handphone dan saya edit di vsco. Saya kira, karena tidak mungkin saya membeli bahan mentah maka saya berinisiatif untuk membeli berbagai macam makanan yang belum pernah saya santap yang ada di Pasar Gede.
Dawet Telasih Mbok Dermi
Pemberhentian pertama saya adalah Dawet Telasih Mbok Dermi. Saat saya masuk dari pintu utama Pasar Gede dan jalan-jalan memutari, sudah banyak memang yang berjualan Dawet Telasih. Tapi entah mengapa saya tidak mencoba Dawet Telasih sewaktu diawal, mungkin sibuk mengamati Pasar Gede.
Terbuat dari jenang sumsum, biji telasih, cairan gula, ketan hitam, tape ketan dan santan serta tambahan es batu, rasa Dawet Telasih segar sekali. Gurihnya santan benar-benar terasa, manisnya juga masih ada, walaupun waktu saat saya coba diawal aroma gulanya sedikit menyengat, tapi rasa manisnya tidak terlalu tajam, masih didominasi oleh gurihnya santan.
Satu porsi dihargai Rp 9000 dan nagih! Lokasi Dawet Telasih Mbok Dermi ini berada di dekat pintu belakang Pasar Gede. Tempatnya kecil dan kemungkinan untuk merasakan kenikmatan Dawet Telasih dengan berdiri lebih besar, pun kata Bu Utit Bapak Jokowi sebelum menjabat sebagai presiden juga menikmati Dawet Telasihnya sambil berdiri. Dawet Telasih Mbok Dermi hanya menyediakan meja kecil kurang lebih 1 meter yang hanya bisa ditempati oleh 3 orang. Sisanya sambil berdiri, tapi saya rasa itulah harga yang dijual, menikmati Dawet Telasih Mbok Dermi yang segar di tengah hiruk pikuk Pasar Gede. Melihat orang lalu lalang, tahu sendiri kan pasar tidak pernah sepi. Ibarat sudah sumpek, Dawet Telasih ini mampu mendinginkan kita.
Selesai mencoba Dawet telasih Mbok Dermi, saya keluar dari Pasar Gede dan menyusuri belakang Pasar Gede hingga akhirnya berhenti di depan tempat pembuangan sampah, disitu ada warung makan, Timlo Sastro namanya. Saya tidak tahu Timlo itu apa, langsung duduk dan pesan saja yang komplit.
Timlo Sastro
Waktu Timlonya datang, saya agak kaget ini apa. Karena baru pertama kali tahu Timlo; seperti sop dan soto jadi satu tapi isinya lauk semua tidak ada sayur. Agak ragu untuk mencoba pada awalnya, tapi rasanya enak! Segar dah gurih jadi satu.
Kalau pesan Timlo Komplit seperti saya isinya ada sosis Solo diiris, ampela dan ati yang suuper lembut; saya yang biasanya tidak suka makan atipun makan karena memang empuk dan ngga amis, serta ada telor pindang; telor pindang ini cocok buat Timlo karena bentuknya tetap padat walaupun kena kuah Timlo. Oh iya, nasi yang saya pesan juga nasi putih komplit, bisa pesan setengah kalau dirasa terlalu banyak. Disini saya habis Rp 28.500. Bisa ditebak ya saya minum apa ditengah sinar mentari yang begitu teriknya menyinari Solo.
Jujur, setelah makan Timlo Komplit dengan nasi yang komplit (juga) saya kenyang dan memutuskan untuk duduk dan membiarkan lambung mengolah nikmatnya Timlo Sastro. Entah mengapa, walaupun lokasi Timlo Sastro ini di depan pembuangan sampah saya tidak mencium aroma sampa, padahal kondisi saya saat itu fit ya, tidak flu. Bisa juga karena sampahnya memang tidak bau, lha?
Selesai lambung saya mengolah Timlo Komplit, saya memutuskan untuk kembali ke dalam Pasar Gede dan mencari jajanan tradisional di Pasar Gede. Tulisannya bisa dibaca di postingan berikutnya, tunggu ya!